Halaman

19 October 2012

Zainal Abidin Bangun Sekolah Monyet di Indonesia

zainal abidin bersama murid-muridnya di sekolah monyet
Sekolah monyet...?
Emangnya kamu pikir apa kalau saya tuliskan ini...?

Pelatihan entrepreneurship kini dilakukan dimana-mana. Tapi, yang dikembangkan motivator Zainal Abidin cenderung ekstrem. Salah satu di antaranya menyuruh siswa peserta untuk menjadi pengasong di jalan-jalan. Banyak yang akhirnya menjadi pengusaha betulan setelah , mengikuti kelas unik ini.

Suasana workshop Zainal Abidin di Jalan Pasar Minggu lalu (18/4) tampak ramai. Sejumlah anak muda memadati barisan kios yang menghadap Gang Potlot, markas grup band Slank. Zainal yang akrab disapa Bang Jay Teroris itu terlibat sedang mengarahkan beberapa peserta workshop yang sibuk membuat kerajinan tangan seperti tas, poster dan stiker.

“Bikin usaha itu jangan cengeng. Ada masalah dikit putus asa. Ada masalah dikit langsung keluar?” Kata Jay kepada salah seorang peserta pelatihan entrepreneurship Bayu Kertapati.

Gaya Jay memang keras. Dia tidak mau calon pengusaha didikannya menjadi cengeng dan manja. Mereka harus fight menghadapi semua kesulitan usaha dengan gagah dan berani. Karena gayanya yang keras dan ekstrem itu, banyak siswa yang mengeluh. Anehnya, meski merasa mangkel, mereka tetap bersedia menimba ilmu kepada lelaki 43 tahun itu.

Yang unik, sekolah itu diberi nama oleh Jay dengan Sekolah Monyet. Nama tersebut merupakan sindiran kepada para penganggur dan orang-orang yang tak kunjung berusaha. “Monyet aja bisa cari duit, masak kita tidak bisa,” katanya.

Di Sekolah Monyet, metode pelatihannya sangat keras. Setiap hari peserta tidak boleh manja. Mereka harus benar-benar serius seperti mencari duit adalah persoalan hidup dan mati. Sebelum ikut pelatihan, mereka harus teken kontrak di atas meterai. Kontrak itu menyatakan bahwa mereka harus menuruti perintah mentor tanpa harus bertanya. Mereka juga harus menyertakan surat tidak keberatan yang ditandatangani orang tua atau suami/istri.

Bayu Kertapati merasakan betul bagaimana metode Jay yang keras itu. Suatu ketika Bayu dan tujuh siswa yang lain di bawa ke Yogyakarta. Mereka di beri waktu 3 hari untuk kembali ke Jakarta bagaimana pun caranya. Padahal dia tidak boleh membawa uang. Masing-masing diberi satu botol air mineral kemasan 500ml dan sebungkus mie instan.

Bayu yang saat itu bingung memutuskan pergi ke kawasan Malioboro. Kebetulan dia bisa berbahasa inggris meski pas-pasan. Air mineral yang harga banderol Rp 1.500 dia jual Rp 5.000 ke wisatawan asing. Uangnya kemudian dia gunakan untuk kulakan air mineral lagi dan dijual kepada turis asing sampai terkumpul uang lumayan banyak. “Saya lupa dapat berapa. Yang jelas, sebagian saya pakai untuk ‘hidup’ di Yogya, sebagian modal pulang ke Jakarta,” cerita pemuda 23 tahun itu.

Hari kedua, Bayu tidak berjualan air mineral lagi. Tapi, dia diterima menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran hotel di dekat Malioboro. Lumayan, dalam dua kali sif, uang yang dia dapat sudah cukup untuk membeli tiket pulang ke Jakarta.

“Saya benar-benar beruntung dapat pekerjaan itu,” kata Bayu, lantas tersenyum

Metode pelatihan Jay tidak berhenti samapi di situ. Dia terus mendampingi anak didiknya sampai bisnis mereka berjalan stabil. Jay juga membawa mereka untuk bersilaturahmi dengan Begawan bisnis Indonesia Bob Sadino. Delapan siswa tersebut kini memiliki bisnis sendiri-sendiri. Ada yang membuka usaha makanan di Kalimantan, bahkan mulai bisnis properti di Jakarta.

Jay menegaskan, melatih berwirausaha tidak cukup dengan seminar dan sekadar kata-kata motivasi. Harus dengan melakukan praktik langsung yang “berdarah-darah”. Karena itu, dia selalu mengawali pelatihannya dengan menyuruh peserta berjualan air mineral. “Istilahnya ngasong,” katanya.

Metode tersebut awalnya dia praktikan saat memimpin Institut Kemandirian yang dikelola Dompet Dhuafa pada 2005-2011. Dia menyuruh para pengangguran berjualan air mineral. Margin dari penjualan itu lalu disimpan untuk modal. Praktik tersebut dilakukan berulang-ulang hingga modal mulai membesar. Baru setelah itu, mereka berpindah ke bisnis yang lain.

Suami Utari Widowati itu menambahkan, berjualan air mineral sangat bermanfaat untuk memutus urat malu calon pengusaha. Padahal, rasa malu merupakan hambatan besar seseorang saat memulai usaha. Di jalanan, pengangguran yang dia latih mungkin bertemu dengan tetangganya, teman, bahkan calon mertua.

“Awalnya mereka kikuk, tapi lama-lama terbiasa. Yang ketemu calon mertua akhirnya malah jadi mertua beneran karena buktinya dia sudah bisa cari duit,” kata lulusan Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, itu.

Jay memang dikenal keras mendidik calon pengusaha. Bahkan sebutan “teroris” yang disematkan di belakang nama panggilan bukan tanpa alasan. Julukan tersebut diberikan kepada lelaki subur itu karena dia selalu “meneror” murid-muridnya dengan pertanyaan-pertanyaan sengit. Misalnya, kapan bikin usaha? Kapan resign dari perusahaan? Atau, “teror-teror” pertanyaan lain, baik dengan menelepon maupun bertemu langsung dengan siswa.

Gaya Jay yang ekstrem itu ada sejarahnya. Pada 2005 dia sempat berguru ilmu wirausaha di sebuah kota di Provinsi Surat Thani, Thailand. Di desa kecil itu sekitar 5-6 jam dari Bangkok itu, Jay menghabiskan waktu mengamati tempat monyet dilatih bekerja. Di sekolah itu, monyet-monyet diajari mencari duit. Yang paling sederhana adalah bekerja sebagai pemetik kelapa.

Jay memperhatikan betul bagaimana monyet-monyet itu dilatih. Untuk membedakan kelapa muda dan tua, misalnya, mereka harus mengocok kelapa terlebih dahulu. Kalau tidak ada suaranya, berarti kelapa masih muda. Kalau terdengar kecipak air, berarti kelapa sudah tua dan bisa dipetik.

Dari situ bapak satu anak itu mengambil kesimpulan bahwa melatih binatang cuma dengan menggunakan satu kunci. Yakni, kedisiplinan. Usia berapa pun monyet itu dilatih yang penting mereka melakukan secara berulang dan terus menerus. “Itulah yang kemudian saya bawa ke Indonesia untuk melatih para pengangguran,” katanya bersemangat.

Saat kembali ke Indonesia, Jay mempraktikan ilmu sekolah monyet di Institut Kemandirian. Tak tanggung-tanggung dia menjadi rektor di institut tersebut. Jay bertanggung jawab penuh memberikan pelatihan kepada ribuan pengangguran dari Sabang sampai Merauke.

Dalam pelatihan tersebut, para peserta tidak serta merta diberi modal. Mereka harus mengalami susahnya berjualan di jalan. Setiap orang, kata Jaya, sejatinya bisa berhasil. Namun, kebanyakan mengalami mental block yang membuat mereka sungkan, malu, dan takut berjualan di jalan. Karena itu, Jay kepada para pengangguran biasanya langsung mengubah mindset siswanya itu.

“Jika mereka masih betah menganggur. Mohon maaf saja. Lebih baik mereka menghormati kepada monyet. Dalam pertunjukan topeng monyet, monyet bisa menghasilkan uang sendiri sekaligus menanggung biaya hidup tuannya,” katanya.

Jay menulis dua buku tentang berlatih wirausaha. Yakni, Monyet Aja Bisa Cari Duit dan Jangan Mau Jadi Kambing. Menurut Jay, banyak orang hidup seperti “kambing”. Mereka memilih hidup dalam wilayah aman, bebas gangguan binatang buas, dan cukup dengan mengembik semua makanan tersedia.

Padahal, kata dia, kambing hanya hidup di dalam kandang. Kalau sudah gemuk, dia akan dipotong oleh majikan. “Pegawai kalau sudah tua ‘dipotong’ oleh majikan, dipecat,” katanya dengan nada tinggi.

Kata-kata Jay memang selalu provokatif. Setiap bertemu dengan karyawan dan pegawai negeri, dia membuat mereka ragu untuk selamanya mengabdi ke negera atau atasan. Karena itulah, dia menyematkan sendiri gelar tambahan di depan dan belakan namanya. Yakni Prov Zainal Abidin PhD. Prov adalah kependekan dari provokator, sedangkan PhD dari permanent head damage.

“Pekerjaan sehari-hari saya memang merusak kepala orang. Biar mereka segera keluar dari pekerjaannya dan menjalankan usaha sendiri.”


Sumber : 
Harian Padang Ekspres Edisi 25 April 2012

No comments:

Post a Comment