Halaman

02 June 2012

Bob Sadino - Memilih Miskin Sebelum Menjadi Kaya

Penampilan eksentrik. Bercelana pendek jins, kemeja lengan pendek yang ujung lengannya tidak dijahit, dan kerap menyelipkan cangklong di mulutnya. Ya, itulah sosok pengusaha ternama Bob Sadino, seorang entrepreneur sukses yang merintis usahanya benar-benar dari bawah dan bukan berasal dari keluarga wirausaha. Siapa sangka, pendiri dan pemilik tunggal Kem Chicks (supermarket) ini pernah menjadi sopir taksi dan kuli bangunan.
Celana pendek memang menjadi “pakaian dinas” Om Bob -begitu dia biasa disapa-. Pria kelahiran 9 Maret 1933, yang mempunyai nama asli Bambang Mustari Sadino, hampir tidak pernah melewatkan penampilan ini. Baik ketika santai, mengisi seminar entrepreneur, maupun bertemu pejabat pemerintah seperti Presiden. Aneh, namun itulah Bob Sadino. “Keanehan” juga terlihat dari perjalanan hidupnya. Kemapanan yang diterimanya dianggap sebagai hal yang membosankan yang harus ditinggalkan.
Anak bungsu dari keluarga berkecukupan ini mungkin tidak akan menjadi seorang entrepreneur yang menjadi rujukan semua orang seperti sekarang jika dulu tidak memilih untuk menjadi “orang miskin”. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang kala itu berusia 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena semua saudara kandungnya kala itu sudah dianggap mapan. Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap di sana selama kurang lebih sembilan tahun. Disana ia bekerja di Djakarta Lloyd di kota Amsterdam, Belanda juga Hamburg, Jerman. Di Eropa ini dia bertemu Soelami Soejoed yang kemudian menjadi istrinya. Sebelumnya dia sempat bekerja di Unilever Indonesia.
Namun, hidup tanpa tantangan baginya merupakan hal yang membosankan. Ketika semua sudah pasti didapat dan sumbernya ada menjadikannya tidak lagi menarik. “Dengan besaran gaji waktu itu kerja di Eropa, ya enaklah kerja di sana. Siang kerja, malamnya pesta dan dansa. Begitu-begitu saja, terus menikmati hidup,” tulis Bob Sadino dalam bukunya Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila.
Pada 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Kala itu dia membawa serta dua mobil Mercedes Benz miliknya. Satu mobil dijual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia. Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.
Satu mobil Mercedes yang tersisa dijadikan “senjata” pertama oleh Bob yang memilih menjalani profesi sebagai sopir taksi gelap. Tetapi, kecelakaannya membuatnya tidak berdaya. Mobilnya hancur tanpa bisa diperbaiki. Setelah itu Bob beralih pekerjaan menjadi kuli bangunan. Gajinya ketika itu hanya Rp 100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.
Bob merasakan bagaimana pahitnya menghadapi hidup tanpa memiliki uang. Untuk membeli beras saja dia kesulitan. Karena itu, dia memilih tidak merokok. Jika dia membeli rokok, besok keluarganya tidak akan mampu membeli beras. “Kalau kamu masih merokok, malam ini besok tidak akan bisa membeli beras,” ucapan istrinya memperingati.
Kondisi tersebut ternyata diketahui teman-temannya di Eropa. Mereka prihatin. Bagaimana Bob yang dulu hidup mapan dalam menikmati hidup harus terpuruk dalam kemiskinan. Keprihatinan juga data dari saudara-saudaranya. Mereka menawarkan berbagai bantuan agar Bob bisa keluar dari keadaan tersebut. Namun, Bob menolaknya. Dia sempat depresi, tetapi bukan berarti harus menyerah.
Baginya, kondisi tersebut adalah tantangan yang harus dihadapi. Menyerah berarti sebuah kegagalan. “Mungkin waktu itu saya anggap tantangan. Ternyata ketika saya tidak punya uang dan saya punya keluarga, saya bisa merasakan kekuatan sebagai orang miskin. Itu tantangan, powerfull. Seperti magma yang sedang bergejolak di dalam gunung berapi,” papar Bob.
Jalan terang mulai terbuka ketika seorang teman menyarankan Bob memelihara dan berbisnis telur ayam negeri. Pada awal berjualan, Bob bersama istrinya hanya menjual telur beberapa kilogram. Akhirnya dia mengembangkan usaha peternakan ayam. Ketika itu di Indonesia, ayam kampung masih mendominasi pasar. Bob-lah yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya ke Indonesia.
Bob menjual telur-telurnya dari pintu ke pintu. Padahal saat itu telur ayam negeri belum populer di Indonesia sehingga barang dagangannya tersebut hanya dibeli ekspatriat-ekspatriat yang tinggal di daerah kemang. Ketika bisnis telur ayam terus berkembang Bob melanjutkan usahanya dengan berjualan daging ayam. Kini Bob mempunyai PT Kem Foods (pabrik sosis dan daging). Bob juga kini memiliki usaha agrobisnis dengan sistem hidroponik di bawah PT Kem Farms.
Pergaulan Bob dengan ekspatriat rupanya menjadi salah satu kunci sukses. Ekspatriat merupakan salah satu konsumen inti dari supermarketnya, Kem Chick. Daerah kemang pun kini identik dengan Bob Sadino. “kalau saja saya terima bantuan kakak-kakak saya sewaktu itu, mungkin saya tidak bisa bicara seperti ini kepada anda. Mungkin saja Kemstick tidak akan pernah ada,” Ujar Bob.
Pengalaman hidup Bob yang panjang dan berliku menjadikan dirinya sebagai salah satu ikon entrepreneur Indonesia. Kemauan keras, tidak takut risiko, dan berani menjadi miskin merupakan hal-hal yang tidak dipisahkan dari resepnya dalam menjalankan tantangan hidup. Menjadi seorang entrepreneur menurutnya harus bersentuhan dengan realitas, tidak hanya berteori.
Karena itu, menjadi sarjana saja tidak cukup untuk melakukan berbagai hal karena dunia akademik tanpa praktik hanya membuat orang menjadi sekadar tahu dan belum beranjak pada taraf bisa. “Kita punya ratusan ribu sarjana yang menghidupi diri sendiri saja tidak mampu, apalagi menghidupi orang lain,” jelas Bob.
Bob membuat rumusan kesuksesan dengan membagi empat hal yaitu, tahu, bisa, terampil, dan ahli. “tahu” merupakan hal yang ada di dunia kampus, di sana banyak diajarkan berbagai hal namun tidak menjamin mereka bisa. Sedangkan “bisa” ada di dalam masyarakat. Mereka bisa melakukan sesuatu ketika terbiasa dengan mencoba berbagai hal walaupun awalnya tidak bisa sama sekali. Sedangkan “terampil” adalah perpaduan keduanya. Dalam hal ini orang bisa melakukan hal dengan kesalahan yang sangat sedikit. Sementara “ahli” menurut Bob tidak jauh berbeda dengan terampil. Namun, predikat “ahli” harus mendapatkan pengakuan dari orang lain, tidak hanya klaim pribadi. Ya, itulah resep Bob untuk menjadi sukses seperti sekarang.

Sumber:
Harian Seputar Indonesia
Buku Biografi "Bob Sadino : Mereka Bilang Saya Gila"
dan di saring dari beberapa sumber

No comments:

Post a Comment